• SMP NEGERI 3 KEDUNGREJA
  • Where Tomorrow's Leaders Come Together

Koneksi Antar Materi - Kesimpulan dan Refleksi Modul 1.1 PGP

Oleh Sutrisno, S.Pd 

CGP A9

Ketika mendengar nama Ki Hajar Dewantoro (KHD), pastinya pikiran kita langsung tertuju pada istilah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso dan Tut Wuri HandayaniIng Ngarso Sung Tulodo artinya di depan memberikan teladan; Ing Madyo Mbangun Karso, artinya di tengah memberi semangat dan Tut Wuri Handayani artinya di belakang memberi dorongan.

Awalnya saya hanya tahu tentang KHD hanya sebatas Tut Wuri Handayani yang terpajang disekolah-sekolah dan pinggiran jalan. Saya hanya sebatas tahu ungkapan tahu belum memaknai dan mengamalkanya apalagi menjiwai dalam peran saya selaku seorang guru.

Jika saya menelisik lebih dalam tentang Pemikiran KHD dalam modul 1.1 Program Guru Penggerak (PGP), saya harus mengakui bahwa ada banyak anggapan yang saya yakini sebelum mempelajari modul ini antara lain: Pertama, memandang anak-anak sebagai gelas dan kertas kosong. Untuk diketahui bahwa saya adalah seorang guru fisika. Fisika termasuk dalam pelajaran yang sulit bagi siswa. Atas dasar ini, saya meyakini bahwa siswa pasti susah untuk memahami pelajaran Fisika. Akibatnya saya sering memperlakukan siswa sebagai gelas kosong dan saya perlu mengisinya dengan pengetahuan yang saya miliki dan menjadikan diri sebagai satu-satunya sumber belajar. Bila gelas itu sudah penuh dengan pengetahuan maka itu akan dianggap sebagai sebuah keberhasilan.

Dalam hal pembentukan karakter, saya sering memperlakukan anak-anak layaknya kertas kosong. Hal-hal yang saya anggap baik, itulah yang perlu saya coretkan pada anak-anak. Saya menganggap bahwa watak mereka akan terbentuk melalui didikan saya.

Kedua, memandang semua anak itu sama. Yang saya maksudkan adalah semua anak punya harus diperlakukan sama dalam pembelajaran yang mana saya harus menyeragamkan metode pembelajaran tanpa mempertimbangkan minat dan potensi masing-masing anak. Di sisi lain dengan menyeragamkan metode pembelajaran maka saya tidak perlu disibukkan dengan pengelolaan pembelajaran dalam kelas.

Ketiga, saya adalah penguasa kelas. Saat melaksanakan pembelajaran, saya menganggap bahwa siswa harus mengikuti aturan saya dalam pembelajaran. Saya punya kewenangan sepenuh untuk mengatur kelas menurut apa yang saya anggap baik. Jika ada yang melanggar aturan yang saya buat dalam pembelajaran maka saya berhak memberi hukuman. Keempat, fokus saya adalah mengajar. Yang saya maksudkan adalah saya lebih berfokus menyelesaikan materi dan ketuntasan anak-anak pada KKM serta pada aspek kognitif siswa semata. Nilai (grade) adalah prioritas saya.

Setelah mempelajari Pemikiran KHD dalam modul 1.1 PGP, pandangan saya berubah 180 derajat. Anggapan saya tentang keempat hal di atas yang saya yakini selama ini adalah sebuah kekeliruan besar. Anggapan pertama bahwa yang memandang anak-anak sebagai gelas dan kertas kosong bertolak belakang dengan pemikiran KHD. Dengan pandangan tersebut maka secara tidak langsung menganggap anak sebagai obyek dan saya selaku guru sebagai subyek. KHD menyatakan bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Dengan demikian maka saya selaku pendidik hanya bisa mengarahkan tumbuh kembangnya kodrat tersebut.

Selanjutnya saya memandang semua anak itu sama. Anggapan ini tentu keliru dan tidak sejalan dengan pemikiran KHD. Menurut KHD setiap anak itu istimewa adanya; mereka punya keunikan dan karakteristik tersendiri sebagai individu. Saya sebagai guru seharusnya memberi tuntunan pada anak-anak menurut minat dan potensi masing-masing. Hal ini sejalan dengan analogi dari KHD bahwa seorang petani tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat memelihara tanaman padi tersebut seperti hanya cara memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya.

Anggapan keliru saya yang berikutnya adalah menjadikan diri saya adalah penguasa kelas. Hal ini tentu kontras dengan pandangan KHD yang harus berhamba pada anak. Berhamba pada anak berarti menaruh rasa hormat dan siap melayani kebutuhan anak dalam pembelajaran. Tentunya sebagai individu, kebutuhan belajar siswa pastinya berbeda; hamba yang baik akan selalu melayani kebutuhan tuannya sebagai pribadi yang unik dan menghormati keunikan itu.

Implikasi dari berhamba pada anak adalah pembelajaran yang guru lakukan haruslah berpusat pada siswa. Pembelajaran yang berpusat pada siswa berarti bahwa pembelajaran harus menempatkan siswa sebagai pusat dari proses belajar mengajar, sehingga akan mengembangkan minat, motivasi, dan kemampuan individu menjadi lebih aktif, kreatif dan inovatif serta bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri.

Anggapan keliru saya yang terakhir adalah fokus saya adalah mengajar. Memang benar bahwa tugas guru adalah mengajar namun menurut KHD itu belum lengkap. Tugas saya selain mengajar adalah mendidik. Mengajar hanya berfokus pada hal-hal bersifat lahiriah atau fisik sedangkan mendidik berfokus pada hal-hal yang bersifat batiniah atau mental. Selain itu mengajar hanya tertuju pada pencapaian nilai/grade sedangkan mendidik lebih diarahkan pada pengembangan nilai/value pada anak.

Setelah memahami pemikiran KHD dan menyadari kekeliruan saya, saya bertekad untuk mulai melakukan perubahan pada pembelajaran yang saya lakukan. Saya akan memberi ruang dan kebebasan pada anak-anak didik saya untuk menggali potensi mereka menurut kodratnya masing-masing. Selain itu, pembelajaran yang selama ini menjadikan saya sebagai subyek akan saya benahi menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Ya, saya tahu betul bahwa membuat perubahan tidak seperti membalik telapak tangan namun tidak ada salahnya mulai berubah dari sekarang.

Saya juga berharap sekaligus bertekat untuk menjadi seorang guru yang menjiwai semangat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso dan Tut Wuri Handayani. SEKIAN

Komentari Tulisan Ini